Kamis, 12 Maret 2015

KUBURAN TANA TORAJA - Sulawesi Selatan , Indonesia

SUKU TORAJA

   Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
   Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belandamenamai suku ini Toraja pada tahun 1909.Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
    Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.


KUBURAN SUKU TORAJA


   Di dinding curam sebuah bukit,  nampak peti mati bertumpuk di celah tebingnya. Patung kayu manusia lengkap dengan pakaian berjejer rapi di dinding tebing yang dipahat ibarat jendela sebuah rumah. Tak jauh dari makam gantung ini, tersembunyi sebuah gua makam yang usianya ratusan tahun. Inilah tempat yang telah memukau banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Pastikan Anda memasukkan Londa dalam daftar tujuan wisata yang perlu disambangi. Tidak ke Londa maka Anda belum mengenal Toraja!
   Setiap suku bangsa di dunia dengan adat dan kepercayaannya memiliki cara berbeda dalam menghormati dan menguburkan kerabat yang sudah meninggal. Sudah bukan rahasia bahwa cara masyarakat Tana Toraja (khususnya kaum bangsawan) dalam menguburkan kerabatnya adalah salah satu yang paling unik di dunia. Serangkaian upacara pemakaman adat yang mahal (Rambu Solo) dan makam gua pada tebing-tebing yang tinggi dapat Anda temui di Tana Toraja, Makasar, Sulawesi Selatan.
   Londa adalah salah satu gua makam paling popular sebagai tujuan wisata di Tana Toraja. Objek wisata Londa berada di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi. Lokasinya kurang lebih 7 kilometer dari selatan Kota Rantepao, pusat pariwisata dan akomodasi bagi wisatawan. Oleh karena itu, Londa mudah dicapai dengan kendaraan umum seperti bemo, ojek, atau pun mobil atau motor sewaan.
   Untuk mencapai lokasi gua makan Londa, Anda harus menuruni sejumlah anak tangga. Pastikan sebelumnya Anda menyewa lentera petromak dari masyarakat lokal seharga Rp25.000,-. Untuk memasuki kawasan gua makam Londa, Anda memang memerlukan lentera sebagai penerang. Anda dapat membawa sendiri lentera ini atau meminta seseorang (yang juga berperan sebagai guide) untuk membawanya. Biasanya, tour guide khusus gua makam Londa tidak menentukan tarif, Anda bebas menentukannya.
   Dari kejauhan, tampak tebing curam yang dirimbuni hijau pepohonan. Jika mata Anda jeli, Anda mungkin melihat peti jenazah berwarna cerah diselipkan di celah-celah dinding tebing. Di kaki tebing tinggi nan rimbun inilah, tersembunyi sebuah gua alam yang dijadikan makam.
   Setibanya di dekat gua, Anda mungkin dengan segera menangkap nuansa mistis. Alam yang masih hijau dan liar serta cuaca pegunungan yang dingin akan juga menyambut setibanya di lokasi. Di dinding tebing sekitar gua, Anda akan melihat deretan patung kayu (tau-tau) di tebing batu yang dipahat serupa etalase tanpa kaca bagi patung-patung tersebut. Tau-tau adalah kayu yang dipahat semirip mungkin dengan jenazah yang dikubur di sana. Biasanya kayu yang dipilih adalah kayu nangka yang cenderung berwarna kuning, warna yang paling dekat dengan warna kulit manusia. Beberapa tau-tau dibuat dengan memerhatikan detailnya; garis kerut wajah atau kulit leher yang kendur sebab sudah tua dipahat dengan teliti.
   Di sekitar barisan tau-tau, tampak peti-peti mati (erong) yang disangga oleh kayu sedemikian rupa hingga peti-peti tersebut aman berada di atas tebing. Rupanya inilah makam gantung yang kerap disebut-sebut orang sebagai daya tarik lain dari Tana Toraja. Peti mati (erong) tersebut adalah peti mati kaum bangsawan atau yang kedudukannya terhormat. Semakin tinggi letak petinya maka semakin tinggi derajat jenazah yang dikubur di sana.
   Masyarakat Toraja percaya bahwa orang yang meninggal dapat membawa hartanya ke kehidupan setelah mati. Inilah salah satu alasan mengapa mereka mengubur peti-peti mati di tempat-tempat yang tinggi. Selain untuk melindungi harta yang ikut dikubur, mereka juga percaya bahwa semakin tinggi letak peti mati maka semakin dekat perjalanan roh yang meninggal menuju tempatnya setelah mati (nirwana).
   Sebelum memasuki gua, tampak tulang-tulang berserakan. Tulang-tulang tersebut berasal dari peti mati yang jatuh dari tebing tempatnya semula digantung atau karena peti mati sudah hancur dimakan usia. Tengkorak dan tulang-tulang ini dapat saja ditempatkan di peti yang baru, hanya saja untuk melakukan hal tersebut harus pula dilaksanakan upacara adat yang sangat mahal; upacara yang mungkin sama saat peti tersebut pertama kali dikuburkan.

UPACARA PEMAKAMAN

   Upacara pemakaman secara adat bagi jenazah bangsawan Toraja dikenal dengan nama Rambu Solo. Untuk dapat melaksanakan upacara adat ini, sanak keluarga yang ditinggalkan harus menyembelih sekira 24 hingga 100 ekor kerbau (bagi golongan bangsawan) atau sekira 8 ekor kerbau dan 50 babi (bagi golongan menengah). Untuk memenuhi syarat tersebut, tak jarang keluarga yang ditinggalkan membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dapat mengumpulkan semua kebutuhan yang diperlukan dalam melaksanakan sebuah upacara Rambu Solo. Selama menunggu upacara tersebut dilaksanakan, jenazah dianggap belum meninggal dengan sempurna (sakit). Oleh karena itu, jenazah akan disimpan di rumat adat (tongkonan) dan diperlakukan sebagaimana orang yang masih hidup, misalnya dengan memberinya makanan kesukaan, rokok, dan lainnya. Benda-benda tersebut ditaruh di sisi peti jenazah serupa sesajen. Jenazah yang disimpan itu sebelumnya dibalsam agar tidak menimbulkan bau.
   Saat Anda menelusuri gua, terdapat lebih banyak lagi tengkorak dan tulang yang berserakan. Di beberapa tempat, tampak pula peti-peti mati yang ditumpuk atau diatur sedemikian rupa. Pengaturan itu disesuaikan dengan garis keturunan atau keluarga. Selain peti mati, terlihat pula pakaian atau rokok yang sengaja ditaruh di sana oleh sanak kerabat jenazah. Kabarnya, kumpulan tengkorak dan tulang belulang yang ada di gua ini sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun.
   Gua makam alam Londa memiliki kedalaman hingga 1000 meter. Dalam menelusuri gua makam yang konturnya dipenuhi stalagtit dan stalagmit ini, Anda perlu berhati-hati. Di beberapa bagian gua, ketinggian gua hanya sekira 1 meter, sehingga Anda perlu berjalan membungkuk.
   Kondisi gua yang gelap kemungkinan besar menambah aura mistis gua makam ini. Namun begitu, perjalanan menelusuri gua makam Londa tentulah merupakan sebuah pengalaman yang tak akan Anda dapatkan di tempat lain. Pastikan Anda tidak memindahkan apalagi berniat untuk mengambil tulang, tengkorak, atau benda lain di area makam, sebab inilah salah satu etika yang hendaknya dituruti saat memasuki lokasi makam leluhur masyarakat Toraja. Satu lagi yang perlu diperhatikan apabila Anda berkunjung ke Londa: Anda wajib memohon izin sebelumnya dengan membawa sirih pinang atau kembang.
   Apabila ada peti mati yang jatuh karena rapuh dari tebing tempatnya semula diletakkan, maka tulang, tengkorak, ataupun dan yang lainnya tidak boleh dipindahkan tanpa persetujuan adat dan serangkaian upacara adat Toraja. Oleh karena itu, Anda perlu berhati-hati jangan sampai menginjak tulang dan tengkorak tersebut, apalagi memindahkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar